Senin, 30 Agustus 2010

DALALAH HANAFIYAH

DALALAH HANAFIYAH


I. PENDAHULUAN

Al qur’an dan al hadits merupakan sumber hukum, memberikan pengertian yang dapat digali dari berbagai dalalah lafz-lafznya.
Untuk mengambil petunjuk dan pengertian suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi juga dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu, mencar illat yang menjadi sebab ditetapkan suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasional.
Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan-jalan merupakan ” maudlul nash ” ( hasil petunjuk nash ) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya. Hal tersebut diperoleh dari lafadz-lafadz yang disebut dengan dilalah, yang dapat ditinjau dari bermacam-macam cara ( segi ). Hingga satu lafadz menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan lantaran segi tinjauannya yang berbeda-beda.
Menurut ulama hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafadz-lafadz al nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalat al lafdz dan dalalah ghoiru al lafdz . namun dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang dalalah lafadz menurut hanafiyah.

II. PERMASALAHAN

Dari uraian diatas terdapat permasalahan yang ada mengenai dalalah al lafdz menurut Hanafiyah
1. Apa pengertian dari Dalalah ?
2. Sebut dan jelaskan macam-macam dalalah lafadz menurut Hanafiyah ?
3. Bagaimana tingkatan kekuatan Dalalah ?








III. PEMBAHASAN

1. Pengertian Dalalah
Kata Al-dalalah jama’nya lafadz dalail adalah yang berarti suatu yang bisa untuk dijadikan petunjuk.
Menurut bahasa dalalah adalah kepada maksud tertentu. Dalam ilmu fiqh dapat ditegaskan bahwa dalalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadz dengan kata lain petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu.
Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara Dilalah.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu Dilalah Lafzhiyah dan Dilalah Ghairuh lafhziyah. Namun dalam makalah ini akan dibahas mengenai Dilalah Lafzhiyah, yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberikan petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian lafaz, suara, dan kata menunjukkan dalam maksud tertentu. Petunjuk dalam maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh alam ini.
b. Melalui akal, maksudnya dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang di dengarnya memberi petunjuk kepasa maksud tertentu.
c. Melalui ”istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu.

2. Macam-Macam Dalalah Lafadz Menurut Hanafiyah
Dalam khazanah literatur ushul fiqih aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalah al-alfazh terhadap hukum dapat di bedakan menjadi empat macam, yaitu dalalah al-‘ibarah, dalalah al- isyarat, dalalah al- nash,dan dalalah al- iqtidha’. Penunjukan nash Al-Qur’an atau hadits terhadap suatu hukum adakalanya dengan medium lafazh dan adakalanya tidak dengan medium lafazh. Dibawah ini akan dijelaskan masing-masing dalalah menurut Hanafiyah.


a. Dalalah Al Ibarah Atau Ibaratun Nash
Dalalah ibaratun nash adalah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tab’i.
1) menurut Abu Zahrah :
وهي المعنى المفهوم من الفظ سواء اكان نصا او ظاهرا

Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zhahir

2) Penulis kitab al-Tharir memberikan definisi :
دلالته) أي اللفظ (على المعنى)حال كونه مقصودا أصليا ولولازما وهوالمعتبر عندهم فى النص أو غير أصلي
Penunjukkan lafaz makna dalam keadaan sesuai dengan yang dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafaz jenis inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli.
Dari definisi diatas mengandung arti bahwa makna yang dimaksud dapat dipahami dari lafaz yang disebutkan, apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut aslinya (zhahir).
Contoh firman allah dalam surat an nisa’ ayat 3 :
                 
            
Artinya: ” dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs Surat An Nisa’ Ayat 3 )

Ayat diatas menurut ibarat nash atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan semula yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang bila terpenuhi syarat adil. Lafadz dalam ayat ini menurut asalnya memang menunjukka hal tersebut. Disamping memberi petunjuk secara jelas dan langsung, ayat ini secara tidak langsung ( bukan menurut maksud semula / secara zhahirnya ) menunjukkan bahwa perkawinan itu hukumnya adalah mubah, meskipun tujuan ayat ini bukan sekedar itu.

b. Dalalah Isyarah Atau Isyaratun Nash
Dalalah isyaratun nash adalah petunjuk lafadz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman ( kemestian ) dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.
Menurut Abu Zahrah :

ما يدل عليه اللفظ بغير عبارة

Apa yang ditunjuk oleh lafaz melalui ibarahnya.

Ulama Hanafiyah dalam at-Tahrir memberi definisi :

(دلالته)اي اللفظ على ما لم يقصد به اصلا

Lafaz yang dalalahnya terhadap sesuatu, tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya.

Al-Sarkhisi dari ulama Hanafiyah memberi definisi :

ما لم يكن السياق لاجله لكنه يعلم بالتأمل فى معني اللفظ من غير زيا دة ولا نقصان

Apa yang terungkap memang bukan ditujukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafaz itu, tidak lebih dan tidak kurang.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan mengenai hakikat dalalah isyarah ialah bahwa yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud namun tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafadz itu. Lafadz menunjukkan kepada suatu arti tertentu, tetapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari lafadz tersebut.
Contoh firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
……     •          …..
Yang artinya : “…..Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar….”

Ayat diatas menurut ibaratun nashnya mengandung arti bolehnya makan dan minum serta hubungan kelamin sepanjang malam,. Disamping itu isyarat ayat tersebut mengandung beberapa maksud antara lain :

Pertama, seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub (sudah berhubungan kelamin tetapi belum mandi) sah puasanya hari itu ; karena sebelum ayat itu ada firman Allah:
ثم اتموا الصيام الى اللي
Yang mengadung arti bahwa bila hubungan kelamin dilakukandi akhir waktu malam, maka mandinya dilakukan setelah terbit fajar. Hal ini berarti ia dalam keadaan junub (berhadas besar).
Kedua, niat puasa yang dilakukan sesudah terbit fajar adalah sah keran lafaz summa adalah untuk maksud “akibat” yang dilakukan kemudian. Bila disuruh melakukan puasa sesudah terbit fajar yang dilakukan dengan niat dan menahan diri, maka dapat diketahui sahnya niat sesudah terbit fajar.
Ketiga, Rukun puasa itu adalah menahan dari tuntutan dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, karena perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan sebelum terbit fajar. Hal itu mengandung arti bahwa semua yang disebut sebelum terbit fajar menjadi terlarang, yaitu harus menahan diri dari semua itu.
c. Dalalah dalatun nash
Dalalah dalatun nash adalah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, sebab illah yang dipahami dari lafadz itu sama dengan illah suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya. Illah dalam dalalah dalatun nash adalah yang dipahami dari pengertian lafadz itu sendiri, dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad.
Menurut abu Zahra:

دلالةاللفظ عل ثبو ت حكم ما ذكر لما سكت عنه لفهم المنا ط بمجرد فحم اللغة

Dilalah lafazh yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.

Definisi yang hampir sama, dikemukakan oleh pengarang at-Tahrir

دلالةاللقظ على حكم منطوق لمسكوت لفهم المنا ط بمجرد فهم اللغة

Dilalah lafaz atas hukum yang dibicarakan untuk sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada kaitannya berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.
Contoh dalam firman Allah surat al isra’ ayat 23 :
…..    …..
Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"….
Arti yang dapat dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas yaitu larangan berkata kasar kepada kedua orang tua dan illah larangannya tersebut yaitu menyakitkan. Yang diambil dari pengertian yang terkandung dalam lafadz perkataan “ ah ”, illah ini ( menyakitkan ) lebih pantas terwujud dari perbuatan-perbuatan seperti memaki-maki, memukul dan yang serupa atau lebih dari itu.
Oleh karena itu dengan Dalalah dalatun nash dapat ditetapkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut diatas dilarang.

d. Dalalah al iqtidha’un nash
Dalalah al iqtidha’un nash adalah yang mengandung suatu pengertian dalam sesuatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketetapan artinya diperlukan suatu ungkapan ( lafadz ) yang ditakdirkan ( yang dianggap tepat )
1. Menurut sebagian ahli ushul

دلالةاللقظ على سكوت عنه يتوقف صدقالكلام عليه

Penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu.

2. Secara sederhana Abu Zahrah memberi definisi :

دلالةاللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى الا بتقد يره

Penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iqtidah al-nash adalah : dalam suatu ucapan ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan.
Contoh dalam sabda rosulullah SAW :
رفع عن امتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya : Telah dihapus (dosa) dari ummatku karena tersalah, lupa dan hal-hal yang mereka benci.

Arti yang dipahami dengan ibaratun nash dari hadits diatas yakni dihapuskan perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa dan terpaksa, namun yang demikian itu adalah suatu hal yang mustahil, sebaba tidak mungkin sama sekali perbuatan yang telah terjadi itu dapat dihapuskan. Untuk menjadi benar arti percakapan ( hadits ) diatas yaitu (hukum) sehingga arti hadits tersebut menjadi daihapuskan dari umatku dosa ataun hukum atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa , dan terpaksa. Kata ismun atau hukum adalah ungkapan yang ditakdirkan dan dianggap tepat untuk memperjelas maksud hadits tersebut. Bahwa maksud dari hadits diatas, Allah memaafkan dosanya.
3. Tingkatan Kekuatan Dalalah
Empat macam dalalah yang telah dikemukakan diatas dapat dijadikan pegangan ( hujjah ) untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan hukum. Hanya saja kekuatan diantara empat macam dalalah tersebut bertingkat-tingkat dengan urutan seperti yang telah disebutkan yakni Dalalah al ibarah atau ibaratun nash , Dalalah isyarah atau isyaratun nash, Dalalah dalatun nash, dan Dalalah al iqtidha’un nash dengan urutan-urutan tersebut maka apabila terjadi suatu pertentangan peristiwa antara arti yang dipahami dengan dalalah yang satu dengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain msks didahulukan arti ysng dipshsmi dengan dalalah yang lebih kuat.
Sebagai contoh pertentangan antara arti yang dipahami dengan dalalah isyaratun nash dari ayat-ayat berikut :

       
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; “ ( qs. Al baqarah : 178 )
Arti yang dapat dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas yaitu bahwa pembunuh, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja wajib dikenai hukuman qishash.
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan :
     •  
Artinya : “Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam,…” ( Qs An Nisa’ : 93)
Arti yang dipahami dengan dalalah isyarotun nash dari ayat diatas yaitu bahwa pembunuh dengan sengaja tidak dikenai qishash , sebab Allah SWT telah menentukan balasannya dengan demikian terjadilah pertentangan antara arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari surat al baqarah ayat 178 dengan arti yang dipahami dengan dalalah isyaratun nash dari surat an nisa’ ayat 93. dalam hal ini dipilih arti bahwa pembunuh dengan sengaja wajib diqishash, sebab dengan arti ini dipahami dengan dalalah ibaratun nash dan arti yang dipahami dengan ibaratun nash harus didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain termasuk arti yang dipahami dengan isyaratun nash.

IV. ANALISIS
Dari teori-teori yang telah dipaparkan diatas terkait mengenai Dalalah menurut literatur Hanafiyah bahwa hukum biasanya menuntut pemenuhan, tidak saja dengan makna teksnya yang terbaca jelas, tetapi juga dengan makna-makna yang dicakupnya dan petunjuk-petunjuk serta inferensi-inferensi yang bersifat tidak langsung yang ditarik darinya. Metode-metode diatas umumnya disusun untuk mendukung penelitian rasional dalam deduksi ahkam dari sumber-sumber wahyu Allah. Al-dalalah merupakan sesuatu yang diambil dari hukum syara’ mengenai perbuatan manusia. Dalam klasifikasi Al-dalalah kaidah dasar yang harus dikemukakan adalah bahwa nash syar’i tidak pernah mensyariatkan makna sebaliknya, dan interpretasi yang sebaliknya berusaha membaca makna sebaliknya kedalam nash yang ada tidaklah teruji dan dapat dipertahankan. Jika dibutuhkan lagi nash tersendiri untuk mengesahkannya tetapi upaya untuk mempertahankan dua makna yang berlawanan dalam sebuah nash yang sama berarti menentang esensi dasar dan tujuan interpretasi.



V. KESIMPULAN
Dalam khazanah literatur ushul fiqih aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalah al-alfazh ialah yang menjadi dalil adalah lafadz menurut lahirnya. Terhadap hukum Dilalah Lafzhiyah dapat di bedakan menjadi empat macam, yaitu Dalalah al-‘ibarah, Dalalah al- isyarat, Dalalah al- dalatun nash, dan Dalalah al- iqtidha’un nash. Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan tersebut merupakan maudlul nash ( hasil penunjukan nash ) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya.
Kita telah memahami pengertian tentang Ibarat (ungkapan nash), Isyarat (ma’na kelaziman nash), Dalalah (petunjuk nash), dan Iqtidla al-Nash (tuntutan/kehendak nash). Sekarang kita akan membahas pemahaman yang lebih mendalam tentang kekuatan penunjukan dalil-dalilnya serta jika terjadi kontradiksi antara keduanya. Hal ini penting mengingat bahwa, seseorang yang memutuskan hukum harus menggunakan dalil yang paling rajih (kuat).


VI. PENUTUP

demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami sangat sadar makalah kami kurang dari kata sempurna. Kritik dan saran sangat kami nantikan, agar semakin baik dalam penyusunan makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh,Multazam: Darul Fikr,1958.
Daly Peunoh Dan Quraisy Shihab, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Istinbath Dan Ijtihad, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama , 1986.
Khudari Biek,Muhamad al-, Ushul Fiqh , Pekalongan : Raja Murah Pekalongan, 1982.
Muhaimin, Http://www.muhaiminks.blogspot.com/2009_11_01_archive.html-, Senin,16 November 2009, Jam 09:14
Syariffudin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana ,2009.
Tim Editor Qomari, Al Qur’an Dan Terjemah 30 Juz, Solo : PT Qomari Publisher, 2007.

RUANG LINGKUP FIQH SIYASAH

RUANG LINGKUP FIQH SIYASAH

I. PENDAHULUAN
Dalam peradaban Islam, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum dan peraturan Perbuatan tersebut sangat berguna dalam perbuatan dan tingkah laku manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah. Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum. Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur dan tenteram.
Sedangkan cara pengaplikasian dari hukum dan peraturan hukum, memerlukan sebuah kendaraan yang sangat penting. Kepentingan ini berguna dalam hal pengaturan daerah tersebut. Hal yang dimaksud adalah politik. Dalam kajian teoritis umum, politik adalah sebuah teori dan cara untuk mengatur dalam daerah, yang bersifat menuju sebuah ketatanegaraan yang aman dan damai. Perkembangan politik ini tidak pernah habis dibahas.
Dalam perjalanan sajarah, politik terbagi bermacam-macam, ada yang bercorak monarchi, oligarki, republik, dan laik sebagainya. Semua corak tersebut diterima secara umum dan banyak negara yang menganutnya.
Bukan hanya politik secara umum saja yang ada, melainkan dalam Islam pun politik juga ada. Hal ini dapat kita lihat dalam kajian Fiqh Siyasah. Dan kajian inilah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits.

II. PERMASALAHAN
Permasalahan yang terdapat dalam makalah ini yaitu:
1. Pengertian Fiqh Siyasah?
2. Obyek dan metode pembahasan Fiqh Siyasah?
3. Bidang-bidang Fiqh Siyasah?


III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fiqh Siyasah
Dalam bahasan ini terdiri dari dua kata bahasa Arab yaitu fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang tepat dari Fiqh Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing-masing kata dari segi bahasa dan istilah.
Secara etimologis (bahasa), fiqh adalah keterangan tentang pengartian atau paham dari maksud ucapan si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud-maksud perkataan dan perbuatan.
Secara terminologi (istilah), menurut ulama-ulama syara’ (hukum Islam), fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang sesiau dengan syara’ mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang diambil dari dasar-dasarnya, Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Kata siyasat berasal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan al-‘arab berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijakan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan adalah siyasah. Sedangkan secara terminologi dalam lisan al-arab, siyasah adalah mengatur memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam al-Munjid disebutkan, siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Abdul Wahab Khallaf mendefisikasinya sebagai “undang_undang” yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqf dan siasat dari segi terminologi dan etimologi serta definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama, dapat disimpulkan bahwa fiph siasah adalah “ilmu yang mempelajari hal ihwal dan seluk beluk pengaturan urusan umat Islam dan Negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan segala kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran dan ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat”. Jelasnya Fiqh Siyasah dalam arti populernya adalah ilmu tata negara dalam ilmu agama Islam yang dikategorikan kedalam pranata sosial Islam.


2. Obyek Dan Metode Pembahasan Fiqh Siyasah
Setiap ilmu memiliki obyek dan metode masing-masing. Fiqh Siyasah mengkhususkan diri pada bidang masalah dengan spesialisasi segala ihwal dan seluk-beluk tata pengaturan negara dan pemerintahan. Obyek dari Fiqh Siyasah adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama.2 Sedangkan Ibnu Thaimiyah mendasarkan obyek pembahasan bidang ilmu ini pada surat An-Nisa’ 58-59.
•           ••     •      •                                    
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada ayat 58 berkaitan dengan mereka yang memegang kekuasaan (pemerintahan); yang punya kewajiban menyampaikan amanah kepada yang berhak; dan menetapkan hukum yang adil. Sedangkan pada ayat 59 berkaitan dengan hubungan antara penguasa dengan dengan rakyat, baik dari kalangan militer maupun kalangan lain wajib menaati Allah dan Rasulnya serta mematuhi pemerintah.
Pandangan di atas memberi gambaran bahwa obyek bahasan Fiqh Siyasah secara garis besar adalah:
1. Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat;
2. Pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan
3. Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
Tetapi kalau kita perhatikan literatur yang membahas Fiqh Siyasah, obyek bahasannya mencakup masalah khilafah, imamah dan imarah, masalah gelar kepala negara, masalah pengangkatan dan pemberhentian kepala negara serta syarat-syaratnya.
Metode yang digunakan untuk mengkaji dunia politik Islam adalah sama seperti ilmu fiqh yaitu:
a. Qiyas (Analog)
Qiyas adalah penjelasan hukum terhadap sesuatu hal yang tidak ada penjelasan Nash atas hukumnya dengan mengaitkannya dengan suatu hal yang asa Nash hukumnya dalam al-Quran dan sunnah karena ada persamaan ‘illat (sebab) hukum pada kedua hal tersebut.
Dengan kata lain, Qiyas mempersamakan suatu masalah yang hukumnya tidak disebut dalam Nash dengan suatu masalah yang ada penjelasan hukumnya dalam Nash, karena adanya persamaan illat hukum pada keduanya.
b. Istihsan (Memandang lebih baik)
Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalail khusus kepada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain meninggalkan suatu dalil beralih kepada dalil yang lebih kuat, atau membandingkan suatu dalil dengan dalil lain untuk menetapkan hukum. Hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan dan tujuan syariat.
c. Maslahah Mursalah
Kata maslahah berarti kepentingan hidup manusia kata mursalah sesuatu yang tidak ada ketentuan Nash syariat yang menguatkan atau membatalkannya. Maslahah mursalah yang disebut juga islishlah secara terminologis, menurut ulama-ulama usul adalah mashlahah yang tidak ada ketetapannya dalam Nash yang membenarkan atau yang membatalkannya.
d. Istishab
Istihhad adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Artinya mengembalikan segala sesuatu kepada ketentuan semula selama tidak ada dalil Nash yang mengharamkannya atau melarangnya.
e. ‘Urf
Kata ‘urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. ‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan atau meninggalkan sesuatu.
Adapun kaidah-kaidah fiqh yang dapat digunakan untuk mempelajari mengembangkan siyasah antara lain:
تَغَيَّرَ الأَحْكَامُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالأَحْوَالِ وَالفُوئَدِ وَالنِّيَاتِ
“Peraturan hukum dengan sebab berubahnya zaman, tempat, situasi, adat, dan niat.”
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
“Tidak dapat diingkari akan terjadinya perubahan hukum lantaran berubahnya masa”
المَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ
“Kemaslahatan yang umum didahulukan atas kemaslahatan yang khusu.”
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرِ
“Kesulitan membawa kepada kemudahan.”
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan atau kebijaksanaan kepada negara terhadap rakyat tergantung kepada kemaslahatan.”


مَالاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (secara sempurna) janganlah ditinggalkan seluruhnya.”
Kaidah-kaidah tersebut diatas menegaskan bahwa suatu kebijaksanaan, keputusan, peraturan, perundang-undangan atau hukum di bidang muamalah yang ditetapkan pada suatu waktu dan tempat tertentu dapat diubah atau diganti oleh pemegang kekuasaan, pemerintah (Wulat al-amr).

3. Bidang-bidang Fiqih Siyasah
Dalam uraian diatas telah tergambar bahwa Fiqh Siyasah adalah bagian dari ilmu fiqh. Namun obyek pembahasannya tidak hanya terfokus pada satu aspek atau satu bidang saja. Namun terdapat beberapa bidang, yang mana bidang pembahasan Fiqh Siyasah dapat dipersempit pada 4 bidang saja, yitu pembahasan Fiqh Siyasah dapat dipersempit pada 4 bidang saja yaitu:
a. Bidang Fiqh Disturiyah atau Disturi
Fiqh titik berat orientasi pembicaraannya ialah mengenai ilmu kenegaraan dan bentuk serta sistem pemerintahan yang mencakup persoaal antara lain imamah dengan hak-hak dan kewajibannya. Persoalan bai’at, waliyul ahdi, perwakilan, ahlul halli wah aqdi, wizarah dan sebagainya.
b. Bidang Fiqh Maliyah atau Maly
Fiqh Maly atau Siasah Maliyah as Syar’iyah orientasi pembicaraannya ialah sekitar mengenai Baitul Mal, sumber-sumber perbendaharaan negara, persoalan perpajakan (daribah) dan sebagainya.
c. Bidang Fiqh Dauliyah atau Kharjiyah
Yaitu siyasah yang berhubungan dengan pengaturan-pergaulan antara negara-negara Islam dan dengan negara-negara bukan Islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga non-muslim yang ada si negara Islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan negara Islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.
d. Bidang Fiqh Harbiyah
Yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.
Kegunaan Fiqh Siyasah: Mempelajari khazanah pemikiran ulama tentang politik, sejarah jatuh bangunnya pemerintahan Islam di masa lalu yang menjadi pelajaran berharga, membantu memahami hadis-hadis yang memiliki kaidah bersifat global & universal, serta hadits-hadits yang mempunyai kaidah kondisional dan situasional setempat, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam siyasah dapat dijadikan pedoman & strategi pemberlakuan norma politik.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara fiqh dan Fiqh Siyasah dalam sistem hukum Islam. Antara fiqh dan Fiqh Siyasah adalah hukum-hukum Islam yang digali dari sumber yang sama dan untuk kemaslahatan. Hubungan antara keduanya dari sisi lain yaitu Fiqh Siyasah dipandang sebagai bagian dari fiqh atau dalam kategori fiqh. Perbedaannya terletak pada pembuatannya, fiqh ditetapkan oleh mujtahid, sedangkan Fiqh Siyasah ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.
Obyek dari Fiqh Siyasah adalah membuat peraturan dan perundang-undangan untuk diberlakukan atau mengurus negara sesuai dengan ajaran agama.
Bidang-bidang yang terdapat pada Fiqh Siyasah adalah Fiqh Dusturiyah, Fiqh Maliyah, Fiqh Dauliyah.
Salah satu kegunaan dari Fiqh Siyasah adalah prinsip-prinsip yang diterapkan dalam siyasah dapat dijadikan pedoman & strategi pemberlakuan norma politik.

V. SARAN DAN KRITIK
Sungguh kesombongan dan kecongkakan bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan biak dari segi materi maupun segi metodologi, semoga makalah ini bermanfaat. Amin






DAFTAR PUSTAKA

- Pulungan, A. Suyuthi, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994
- Saebani, Beni Ahmad, Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Setia,2007
- Widodo, L. Amin, Fiqh Siyasah Dalam Hubumgan Internasinal, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994.

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tak hanya didasarkan hanya kepada kebutuhan sandang pangan dan papan saja, tetapi juga sarana penunjang bagi jiwa serta rohani yang disebut dengan pendidikan. Walaupun budaya jawa kental dengan budaya animisme tetapi tidak melupakan pendidikan bahkan sebelum agama hindu dan budha datang dan berkembang orang jawa telah mengenal pendidikan. Kaitannya dengan islam pendidikan merupakan sarana yang dianggap paling tepat dalam hal penyebaran agama islam itu sendiri, karena merupakan alat yang paling tepat untuk menggali potensi yang ada dalam diri seorang manusia
Sebagai agama dakwah, Islam tidak berhenti dan berada di luar realitas kehidupan manusia, tetapi masuk ke seluruh segi kehidupannya. Keberadaan Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, baik individu maupun sosial bersifat unik. Hal itu karena Islam tidak ingin membentuk kebudayaan yang monolitik. Terbukti bahwa masyarakat Islam di suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya memiliki kebudayaan yang berbeda. Islam telah memberi peluang kepada pemeluknya untuk mengembangkan budaya di daerah masing-masing, sepanjang tidak menyalahi prinsip-prinsip Islam sendiri.
Sementara itu bidang pendidikan sebagai bagian dari realitas masyarakat Jawa cukup menarik untuk diperbincangkan. Sehubungan dengan usaha sungguh-sungguh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia lewat Pendidikan.

B. PERMASALAHAN
Yang menjadi batasan permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di Jawa?
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam?
3. Sistem Pendidikan Kolonial?


C. PEMBAHASAN
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di jawa
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pendidikan pada masa Hindhu Budha akan penulis sampaikan pendidikan sebelum Hindhu Budha masuk di tanah jawa. Pendidikan di tanah jawa sudah ada sebelum Hindhu Budha masuk ke tanah jawa, walaupun pada awalnya hanya merupakan sekedar pendidikan yang hanya bertujuan untuk kehidupan sehari-hari atau suatu cara untuk bertahan hidup, sering dikatakan untuk mencari makan. Seperti tata krama, berhitung dan juga membaca.
Telah kita ketahui masuknya hindu-budha juga mempengarui kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelunya masyarakat indonesia belum mengenal tulisan namun dengan masuknya hindu-budha, sebagian masyarakat indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Buktinya yaitu denagn digunakannya bahasa sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan dikalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah digunakan bahasa kawi bahasa jawa kuno, dan bahasa bali kuno yang merupakan turunan dari bahasa sansekerta.
Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Pada masa-masa kerajaan Hindhu Budha berkuasa di tanah jawa, ada semacam pengelompokan status dalam masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kasta. Pengelompokan status ini didasarkan pada harkat, martabat dan derajad. Ada 3 kelompok status atau yang dikenal dengan kasta, yaitu Ksatria, Brahmana dan Sudra.
Pengelompokan status ini sangat mempengaruhi tingkat pendidikan seseorang, semisal seseorang yang mempunyai tingkatan status atau kasta yang paling rendah yaitu Sudra, maka ia tidak diperbolehkan untuk mendapat pendidikan formal atau dengan bahasa lain tidak diperbolehkan untuk sekolah. Berbeda jauh dengan dengan mereka yang berkasta diatasnya. Mereka secara bebas diperbolehkan untuk mendapat pendidikan baik formal maupun informal.
. Pendidikan pada masa Hindhu Budha, banyak dipengaruhi oleh peraturan yang ada dalam kitab suci mereka.
Pada massa Hindu Budha ini, Brahmana merupakan golongan menyelenggarakan pendidikan dan Pengajaran. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain Sosiologi, Bahasa dan Sastra, Ilmu Kemasyarakatan, Ilmu Exacta seperti ilmu perbintangan, Ilmu pasti perhitungan waktu, seni Bangunan, Seni Rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil asrama khusus seperti fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dengan perkembangannya, kebudayaan Hindu Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan hindu terakhir runtuh pada abad 15 tetap ilmu pengetahuannya berkembang khususnya dalam bidang Bahasa dan Sastra, Ilmu Pemerintah, Tata Negara dan Hukum.
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dendan jumlah murid relative terbatas dan bobot materi yang bersifat Spiritual Religius. Para murid disini selain belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengelola Pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi.
2. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain.
3. Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu.
4. Pendidikan kejuruan dan keterampilan dilakukan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa hindu-budha kemudian berlanjut pada masa islam. Bisa dikatakan sistem pada masa islam merupakan akulturasi antara sistem pendidikan patapan hindu-budha dengan sistem pendidikan islam yang telah mengenal uzlah (menyendiri). Masuknya Islam di Jawa mempunyai pengaruh yang besar dalam segala hal, dari segi sosial, budaya, politik dan juga pendidikan. Kedatangan Islam di tanah jawa yang menurut sejarah dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat India. Hal ini sangat menguntungkan Islam, ini dikarenakan Islam yang dibawa sudah dalam suatu bentuk yang dipengaruhi oleh sufisme dan mistik Islam.
Pendidikan juga berpengaruh pada masa sebelum walisongo datang, yang mana kerajaan islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan pase atau kerajaan samudera di daerah Aceh yang berdiri abad ke 10 M dengan Raja yang pertama adalah Al-malik Ibrahim bin mahdum, yang kedua bernama Al-malik al saleh dan yang terakhir bernama Al-malik sabar syah (tahun 1444M / Abad ke 15H). Pada tahun 1345M Ibnu Batutah dari Maroko mengelilingi dunia dan singgah di kerajaan pase pada zaman Al Malik al zahir.
Keterangan Ibnu Batutah dapat ditarik kepada sistem pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan pase aebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at ialah fiqh madzab syafi’i;
b. Sistem pendidikanya secara formal berupa majlis taklim dan halaqah;
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama;
d. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.

Kerajaan islam yang kedua di Indonesia adalah perlak di Aceh, rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1184H/abad 12M). Raja yang ke-6 bernama Sultan Mahmud Alaudin Muhammad Amin, adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam. Lembaga tersebut mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi. Dari Malaka islam dapat tersebar ke daerah lain melalui perdagangan,antara lain masuk ke jawa. Jadi islam di jawa dibawa oleh muballigh dari Aceh dan dari Malaka.
Dakwah di Jawa makin memperoleah bentuknya yang lebih mantap dengan adanya Walisongo. Walisongo juga mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan khususnya di Jawa. Disini ada hubungan timbal balik antara peran Walisongo dengan kerajaan Demak di bidang dakwah islam, Raden Fatah menjadi Raja adalah atas keputusan para wali juga.
Pada tahun 1475 Raden Fatah mendirikan Pesantren di Hutan, ”Gelagah Arum” yang menjadi kota Bintoro serta mendirikan Organisasi dakwah Bayangkari Islam. Maksudnya ialah untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam menurut rencana yanh teratur. Itulah organisasi pendidikan pertama yang dibentuk di Indonesia.
Dibawah ini akan diuraikan mengenai sistem pendidikan dari para Walisongo:
1. Maulana Malik Ibrahim (Maulana Syekh Maghribi)
Maulana malik ibrahim digembleng dengan pendidikan sistem pondok pesantren. Beliau mencetak kader muballigh selama 20 tahun. Antara Malik ibrahim dengan para wali yang lain atau antara para wali itu sendiri selain di ikat oleh hubungan pendidikan juga dengan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan atau menantu,ipar. Secara garis besar sistem pendidikan beliau dilakukan yang ada di sekeliling beliau terlebih dahulu, yaitu keluarga.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel mewarisi pondok pesantren ayahnya yaitu Malik Ibrahim. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban. Dapat disimpulkan adanya hubungan antara ulama dengan Umara, hubungan itu dijalani dengan dakwah.
3. Sunan Bonang (Maulana Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Beliau mengarang lagu-lagu gending jawa yang berisi tentang keislaman antara lain Tembang Macapat.
4. Sunan Derajat (Raden Qasim)
Sunan Derajat adalah adik dari Sunan Bonang, beliau menjadi penasihat dan pembantu Raden Fatah dalam pemerintahan. Perhatiannya secara khusus ditujukan kepada kesejahteraan sosial kaum fakir miskin, mengorganisir amil, zakat, dan infak. Titik tekannya daam pendidikan ialah lebih kepada jiwa sosial dan keagamaan.
5. Sunan Giri (Raden Paku = Raden Ainulyaqin)
Beliau adalah saudara sepupu Sunan Ampel. Sunan Giri menitikberatkan kegiatan dibidang pendidikan, susunan materi pengajaran ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase di Acehyang berhaluan madzab syafi’i. Dengan demikian maka beliau berfungsi sebagai pemersatu indonesia di bidang pendidikan islam.
6. Sunan Kudus (Raden Amin Haji = Ja’far Sadiq)
7. Sunan Muria (Raden Prawoto = Raden Said)
8. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
9. Sunan Gunungjati (Raden Abdul Qadir = Syarif Hidayatullah = Fatahillah)

Dalam Islam tidak mengenal dengan istilah kasta seperti yang terjadi pada masa-masa Kerajaan Hindhu Budha. Setelah Islam masuk dengan segera sistim kasta ini dihapus, setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam tatanan kehidupan. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan atau malah lebih diwajibkan untuk mengikuti pendidikan. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang mendasar antara pendidikan pada masa Hindhu Budha dengan pendidikan Islam.
Beberapa pendekatan pendidikan dalam Islam :
a). Pendekatan Pendidikan pada Masa Walisongo yaitu :
1. Modeling
Jika dalam dunia Islam Rasulullah adalah pemimpin dan panutan central yang tidak diragukan lagi, Maka dalam masyarakat santri jawa kepemimpinan rasullullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para walisongo yang kemudian dari sampi kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah nabi. Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa.
2. Subtansi bukan kulit luar
Ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits pada dasarnya, berkisar tentang hubungan antara Tuhan dengan Makhluk di bumi, dan tentu bagaimana agar makhluk selamat dunia akhirat. Dengan demikian, tujuan walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori modalitas hubungan Allah SWT dengan hambanya agar mudah ditangkap. Karena lebih mengutamakan pendekatan substansial yang barangkali dapat dijadikan indikasi mengapa Islam di jawa begitu menguatkan hingga abad 15-16.
3. Pendidikan Islam yang tidak Diskriminatif.
Bahwa pendidikan islam walisongo ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren . pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan kiblat bagi dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan walisongo ini telah melembaga pada tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal, semua ini adalah warisan dari walisongo.
4. Pendidikan Agama yang Understandable dan Apliccable.
Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan jawa arep atatakena ilmu sekedare lan lampahaken (carilah ilmu yang dapat engkau praktekkan dan terapkan). Pola ini juga menyajikan pendidikan islam melalui media wayang yang memasyarakatkan dapat ditemukan dalam cerita pewayangan seperti Sahadatain dalam kisah Mahabarata.
5. Pendekatan Kasih Sayang
Bagi walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama, mendidik murid sama halnya mendidik anak sendiri.

b). Pendekatan Pendidikan Pada Masa Sultan Agung. Yaitu :
Satu abad setelah masa walisongo, abad 17 pengaruh walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah mataram dari tahun 1615-1635.
Sistem Pendidikan pada masa Sultan Agung Yaitu :
1) Takhasus Pesantren
Yaitu dengan spesifikasi pengetahuan keislaman (Tingkat Tertinggi).
2) Pesantren Besar dan Umum.
Mata pelajaran : Fiqh, Tafsir, Tasawuf dll. (Tingkat Tinggi)
3) Pesantren dengan daerah dengan kitab-kitab elementer (Tingkat Tinggi).
4) Tingkat Dasar.
Kelas-kelas Al-Qur’an diberbagai tempat diperuntukkan anak-anak tujuh tahun. Tujuannya membekali para santri dengan kemampuan membaca Al-Qur’an.
3. Sistem Pendidikan Kolonial
Pendidikan pada zaman kolonial mengalami penurunan yang sangat drastis pada bidang pendidikan formal. Memeng pada saat zaman penjajahan belanda, dikenal dengan adanya kebijakan “Politik Etis” pada akhir abad ke-13 yaitu kebijakan pemerintahan Belanda sebagai balas budi kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan masih sangat terbatas baik dari segi jumlah yang mendapat pendidikan atau pun dari segi pendidikan yang diberikan. Dalam bukunya M.Sulthon Masyhud menurut Brugmans mencatat pada tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang bersekolah hanya mencapai 1,3 juta jiwa. Padahal penduduk di pulau jawa hingga tahun 1930 mencapai 41,7 juta jiwa, ini berarti ada sekitar 97 persen penduduk Indonesia yang masih buta huruf.
Kurang meratanya pendidikan dalam hal, siapa yang mendapat pendidikan ini dipengaruhi factor penerapan “Politik Etis” itu sendiri. Jika pada saat masa-masa Hindhu Budha terjadi pengelompokan status kemasyarakatan yang dilihat dari harkat, martabat, derajad manusia. Pendidikan pada zaman kolonial tidak jauh beda pada masa Hindhu Budha, pengelompokan masyarakat sangat terasa pada saat itu. Pada masa kolonial dikenal dengan adanya istilah “priyayi dan wong cilik” . Istilah priyayi ditunjukan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan atau bisa juga kepada orang-orang kaya, seperti contoh para raja, Adipati (orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan) ataupun juga para pedagang yang kaya. Sedangkan wong cilik ditujukan kepada orang-orang yang hidup kekurangan atau miskin, seperti contoh para petani, nelayan dan pekerja pabrik.
Pemerintah kolonial hanya memberikan pendidikan kepada orang-orang yang masuk dalam kategori priyayi saja, sedangkan wong cilik tidak diberikan pendidikan sama sekali malah cenderung dilarang untuk mendapat pendidikan.

4. Pondok Pesantren
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan lembaga atau system pendidikan yang tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan adanya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”).
Bentuk ini kemudian berkembang dengan mendirikan tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut dengan pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum Muslimin Indonesia mendalami doktrin Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Pada masa-masa awal berdirinya pesantren, sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf arab dan Al-qur’an. Sementara, pesantren yang agak lebih tinggi adalah pesantren yang mengajarkan kitab-kitab fiqih, ilimu akidah, amalan sufi dan tata bahasa Arab (Nahwu Sharaf).
Ciri umum yang dimiliki pesantren sebagai kultur khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya, yaitu cara pembelajarannya yang unik. Sang kyai yang biasanya pendiri sekaligus pemilik pesantren membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan (atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning) sementara para santri mendengar dengan memberi catatan pada kitab yang sedang dibaca. Selain itu para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai menyimak dan mengoreksi bacaan santri tersebut.
Secara garis besar, pesantren sekarang ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Yaitu Pesantren yang masih mempertahankan system pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut Kitab Kuning. System pengajaran yang digunakan ialah system Sorogan dan sitem Bandongan.
2. Pesantren Modern.
Merupakan pesntren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh system klasikal dan sekolah kedalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi menjadi tingkatan kelas, dimana pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol (bahkan hanya sekedar pelengkap) tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. System sorogan dan bandongan juga mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah secara umum atau stadium General. Ada 5 elemen yang terdapat pada pondok pesantren, antara lain ialah masjid, pondok, kitab-kitab, para santri dan kyainya.










D. KESIMPULAN

Pendidikan di Jawa sudah ada sebelum Hindhu Budha masuk,walaupun pada saat itu pendidikan hanya bersifat non formal. Setelah Hindhu Budha masuk pendidikan di tanah jawa sedikit mengalami kemajuan. Akan tetapi yang menjadi permasalan dalam pendidikan pada saat Hindhu Budha adalah pembagian Kasta dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang berada pada kasta terendah tidak mendapatkan pendidikan. Setelah Islam masuk dengan perlahan tapi pasti sistim kasta ini terhapuskan, dan digantikan dengan sistim persamaan derajad atau Islam menghapuskan tingkatan-tingkatan derajat yang ada dalam masyarakat. Semua orang diperbolehkan mengikuti pendidikan tanpa memandang derajat orang tersebut. Sehingga pada saat itu timbulah tempat-tempat pendidikan atau nggon ngaji dalam bahasa jawa diberbagai wilayah di pulau jawa.
Selain itu pola atau penyebaran pendidikan dijawa terjaddi tidak serentak serta otodidak saja tetapi mengalami perkembangan dari masa ke masa yaitu :
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di jawa
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam
3. Sistem Pendidikan Kolonial
Dan dari ketiga pola yang berkembang tentu memberi perbedaan pola pendidikan yang terjadi khususnya yang berkaitan dengan budaya


E. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami sangat sadar makalah kami kurang dari kata sempurna. Kritik dan saran sangat kami nantikan, agar semakin baik dalam penyusunan makalah kami selanjutnya.





Daftar Pustaka

Amin M. Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000 Dirjosantjoto Pradjarta, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS, Jogjakarta: 1999
Geertz Clifford, Santri, Priyayi dan Abangan, Jakarta, Pustaka
Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: 1999
Kartodirejo Sartono, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud: 1997
Mahmud, Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: 1983
Masyhud M. Sulthon. Dkk, Menejemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta: 2004
Sartono Kartono, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1997

BELENGGU KASUS SOEHARTO DIDALAM PROSES SURAT KEPUTUSAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKP3)

BELENGGU KASUS SOEHARTO DIDALAM PROSES SURAT KEPUTUSAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKP3)

I. PENDAHULUAN
Dalam hukum acara pidana dapat pula di artikan secara luas dan sempit. Apabila hukum Acara Pidana di pandang dari segi Tugas,Fungsi,Wewenang,Kewajiban dan Hak-hak dari Pejabat-pejabat yang berwenang dalam Penyidikan,Penuntutan, dan Mengadili, maka ia termasuk Hukum Tata Negara dan administrasi Negara. Ini yang disebut Hukum Acara Pina dalam Arti luas. Sedang dalam arti sempit yaitu kalu kita melihat hukum acara Pidana itu berjalan apabila ada persangkaan Hukum Pidana dilanggar.
Secara formal dalam hukum acara Pidana apabila Pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka penyidikan dipandang cukup, maka penyidik segera membuat berita acara penyidikan. Pada berita acara penyidikan ini sekaligus terlampir pula semua berita acara yang dibuat penyidik sehubungan dengan tindakan-tindakan yang diprrlukan dalam penyidikan,termasuk berita acara keterangan tersangka,berita acara keterangan saksi,berita acara penahanan,berita acara penggeledahan,berita acara penyitaan,berita acara pemeriksaan surat dan lain sebagainya.
Apabila penyidik telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Adapun cara penyerahan berkas perkara tersebut dilakukan sebagai berikut:
• Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas aperkara;
• Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesi,penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (pasal 8 KUHAP).
Tetapi apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan tersebut dianggap masih kurang lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum dalam waktu empat belas hari,penyidik harus menyampaikan kembali kepada penuntut umum (pasal 110-ayat(2) dan (3) dan pasal 138 ayat(2) KUHAP)
Namun adakalanya penyidik tidak meneruskan ketahap penuntutan disebabkan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikannya harus dihentikan demi hukum. Hal ini dikarenakan ada ketentuan pasal 75 KUKP (Pencabutan pengaduan), 76 KUHP (Nebis in idem), pasal 77 KUHP (Karena tersangka meninggal dunia), dan pasal 78 KUHP (Kadaluwarsa). Untuk itu penyidik mengeluarkan surat penetapan penghentiam penyidikan dan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,tersangka atau keluarga (pasal 109 ayat (2) KUHAP).
Akan tetapi, dalam penuntut umum terdapat pada pasal 140 ayat 2 KUHAP. Dalam hal demikian maka penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan,yang mana disebut pula surat keputusan penghentian penuntutan perkara.

II. PERMASALAHAN
Dari paparan diatas terdapat permasalahan yang ada, yaitu:
1. Apa tugas dan Wewenang Penuntut umum?
2. Contoh kasus dalam Penuntutan umum.?
3. Bagaiman Analisis terhadap kasus tersebut?

III. PEMBAHASAN
A. Tugas dan wewenang Penuntut umum
Didalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang berwenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Menurut pasal 14 KUHAP, Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila kekurangan pada penyidikan;
c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dari atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab penuntut umum;
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Menurut pasal 140 KUHAP,Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan,maka ia segera membuat surat dakwaan.
Tujuan surat dakwaan adalah bahwa Undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa pidana,untuk itu harus ditulis dengan sebaik-baiknya.
Kembali mengenai persoalan penuntutan ialah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dengan suatu tuntutan (permintaan) supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. Ibidang penuntutan ini dikenal dua asa, yaitu asas opportunitas dan asa legalitas.
Asas oportunitas menghendaki, walupun bukti-bukti cukup tentang kesalahan tersangka,tetapi jika penuntut umum ver[endapat bahwa akan lebih baik banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut tersangka tersebut dari pada tidak menuntutnya,maka ia berwenang untuk menyampingkannya (mendeponir).
Secara tegas asas oportunitas di cantumkan dalam pasal 8 Undang-undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), yang menyatakan bahwa Jaksa agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Akan tetapi apabila Jaksa akan menyampingkan perkara harus musyawarah terlebih dahulu dengan Pejabat tinggi, misalnya Kapolri,Menhankam, dan kau perlu langsung Presiden.
Asas legalitas apabila terjadi suatu tindak pidana maka penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang telah melanggar undang-undang pidana tersebut,dalam arti keharusannya untuk menuntut pidana.
Status perkara dapat pula dihentikan penuntutanya oleh penuntut umum jika ia berpendapat bahwa hasil penyidikannya tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perjara harus di tutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 KUHAP). Dalam hal tersebut maka penuntut umum menuangkan kedalam Surat ketetapan.
B. Contoh kasus dalam Penuntutan umum.
Kasus Dugaan Korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan agung sejak tahun 1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suryono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Triharmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutama Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare diCiteurep Bogor,, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputan Peenghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
12 Juni 2006 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan.

C. Analisis terhadap kasus tersebut.
Sekitar awal Mei 2006, kesehatan mantan Presiden Soeharto memburuk dan segera merebak kembali kontroversi kasus hukumnya yang telah berlarut-larut sejak tahun 2000.
Atas dasar kebutuhan untuk segera memberikan keadilan dan kepastian hukum, tanggal 12 Mei 2006 saya selaku Jaksa Agung memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara atau SKPPP atas perkara Soeharto. Bukan surat ketetapan penghentian penyidikan atau SKPP seperti ditulis Romli Atmasasmita (Kompas, 9/1/2008). Istilah SKPP tidak dikenal dalam KUHAP. Di samping SKPPP (SKP3), yang dikenal adalah SPPP (SP3) atau surat perintah penghentian penyidikan.
Sudah final
Dalam mencari solusi hukum yang tepat, Kejaksaan dihadapkan pada tiga kewenangan, yaitu menerbitkan SP3, deponeering sebagai hak oportunitas Jaksa Agung, dan menerbitkan SKP3.
SP3 tak menjadi pilihan karena kebijakan ini hanya bisa dilakukan jika bukti-bukti yang ada tak memungkinkan sebuah perkara dilanjutkan ke tahap penuntutan. Dalam kasus Soeharto, penyidikan sudah final dan perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Deponeering pernah menjadi pikiran alternatif. Namun setelah melalui kajian yang mendalam, alternatif ini dikesampingkan karena beberapa sebab. Pertama, sesuai ketentuan Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan, deponeering hanya bisa dikeluarkan dengan alasan demi kepentingan umum. Dalam penjelasan dikatakan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, dan dalam pelaksanaannya Jaksa Agung harus terlebih dahulu mempertimbangkan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dua hal dalam penjelasan ini berpotensi menimbulkan perdebatan dan kontroversi sehingga persoalan berlarut-larut dan tak segera diperoleh kepastian hukum.
Kedua, deponeering tidak berbicara mengenai pembuktian. Dalam deponeering perkara dikesampingkan bukan karena bukti lemah atau kurang lengkap, melainkan karena untuk kepentingan umum. Demi kepentingan umum—dengan makna dan batasan yang belum jelas—sebuah perkara bisa dikesampingkan meskipun sebenarnya bukti-bukti cukup kuat. Ketiga, deponeering hanya bisa dilakukan jika perkara belum masuk tahap penuntutan. Dalam kasus Soeharto, perkara sudah masuk ke proses pengadilan sehingga tidak mungkin deponeering ditempuh.
"In absentia"
Bagaimana dengan in absentia? Konsep in absentia bisa diterapkan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah (Pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Sementara dalam kasus Soeharto, alasan tidak hadir di persidangan adalah alasan sah yang dikemukakan oleh tim dokter independen yang ditunjuk oleh penegak hukum.
Dua tim dokter independen yang memeriksa kesehatan Soeharto memberikan kesimpulan yang tidak jauh beda, yaitu Soeharto, secara medis baik dari segi fisik maupun mental, dalam keadaan tak laik (unfit) untuk disidangkan. Kondisi unfit to stand trial merupakan alasan yang sah untuk tidak memenuhi panggilan persidangan. Karena itu, konsep in absentia tidak bisa diterapkan dalam kasus Soeharto.
SKPPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara)
Setelah menimbang serangkaian alternatif yang ada, Jaksa Agung memutuskan demi hukum mengeluarkan SKPPP, dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, kondisi sakit permanen menyebabkan Soeharto tidak mungkin dihadirkan ke persidangan. Ini adalah praktik hukum universal dan bentuk penghormatan pada hak asasi manusia. Kedua, SKPPP bukan merupakan bentuk penghapusan penuntutan ataupun pengampunan, dan tidak menghalangi perkara dibuka dan dilanjutkan kembali.
Pasal 140 Ayat (2) d KUHAP memungkinkan penuntut umum membuka kembali perkara yang sudah dihentikan penuntutannya apabila di kemudian hari terdapat alasan baru, misalnya tim dokter menyatakan Soeharto telah sembuh. Dengan demikian, SKPPP merupakan pilihan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan Ketetapan MPR tentang keharusan mengusut kasus korupsi Soeharto.
Atas keluarnya SKPPP ini, Jaksa Agung kemudian dipraperadilankan oleh sejumlah LSM, akademisi, dan mereka yang tidak setuju. Di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, SKPPP dinyatakan tidak sah demi hukum. Namun, dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, SKPPP diputuskan sah demi hukum dan permohonan praperadilan ditolak. Apa artinya? Artinya, kasus pidana Soeharto secara hukum sudah final, tidak dapat dibuka kembali, kecuali tim dokter menyatakan sembuh sehingga beliau fit to stand trial.
Gugatan perdata
SKPPP bukan merupakan kebijakan tunggal Kejaksaan Agung dalam menangani kasus Soeharto. Segera setelah mengeluarkan SKPPP, saya memproses gugatan perdata terhadap Soeharto. Surat kuasa gugatan perdata ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan penerima kuasa Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung waktu itu. Kejaksaan yakin terdapat bukti-bukti yang kuat, akan adanya perbuatan melawan hukum oleh Soeharto dalam pengelolaan yayasan yang dipimpinnya.
Gugatan perdata tidak selalu harus dimulai atau terkait dengan perkara pidana. Doktrin maupun praktik hukum mengajarkan bahwa gugatan perdata tidak harus dimulai dengan pembuktian pidana terlebih dahulu. Ada beribu- ribu perkara perdata yang tanpa didahului atau terkait dengan proses pidana. Dua jenis perkara tersebut bisa dilakukan bersama- sama atau terpisah. Proses perdata tidak mensyaratkan kehadiran terdakwa di persidangan, dan terus dilanjutkan kendati Soeharto sudah meninggal dunia karena gugatan bisa dialihkan ke para ahli warisnya.
Sepanjang kita berdiri dan menghormati negara hukum, kenyataan ini harus diterima.

IV. KESIMPULAN
Dalam hal tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa proses tersebut diatas termasuk pada Praoeradilan,tercantum pada pasal 77 yang berkaitan dengan pasal 78 KUHP. Prapradilan adalah uewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan,penahanan,penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Namun dalam kasus tersebut diatas ada talik ulur antara pihak Pengadilan dan Kejaksaan dalam penanganan pengeluaran SKP3. Yang jelas SKP3 dikeluarkan karena ada tiga kualifikasi menurut pasal 140 KUHP yaitu tidak adanya Cukup bukti, tindakan yang disangkakan bukan Tindak pidana, dan Perkara di tutup demi hukum.
Dalam penuntutan terdapat dua asas yaitu Asas opportunitas dan Asas legalitas. Asas oportunitas menghendaki, walupun bukti-bukti cukup tentang kesalahan tersangka,tetapi jika penuntut umum ver[endapat bahwa akan lebih baik banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut tersangka tersebut dari pada tidak menuntutnya,maka ia berwenang untuk menyampingkannya (mendeponir). Dan asas legalitas apabila terjadi suatu tindak pidana maka penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang telah melanggar undang-undang pidana tersebut,dalam arti keharusannya untuk menuntut pidana.

V. SARAN DAN KRITIK
Sungguh kesombongan dan kecongkakan bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan biak dari segi materi maupun segi metodologi, semoga makalah ini bermanfaat. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Saleh, www.kompas.com/kompas-cetak/0801/12/opini/4160832.htm

Suryono sutarto dan Sudarsono,Hukum acara pidana I.II,Semarang:Yayasan Cendekia Purna Dharma,1999.
id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto

mahar yang ideal dalam pernikahan hukum islam

MAHAR YANG IDEAL DALAM PERNIKAHAN ISLAM

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya Nikah menurut Bahasa artinya penyatuan, diartikan juga sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut syari’at, nikah juga berarti akad. Jadi pernikahan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara di ridhoi Allah SWT.
Sebelum diadakannya pernikahan atau akad Nikah, calon mempelai pria dan wanita mempersiapkan mahar, yang mana mahar merupakan salah satu syarat sahnya sebuah akad nikah.
Berkenaan dengan mahar, pada masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kedzaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali akan hak-haknya untuk menikah seta bercerai. Juga mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka (kaum wanita).
Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman pada QS. An-Nisa ayat 4 yang artinya “Berilah maskawin (mahar) kepada wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…” Dalam makalah ini akan menjabarkan yang terkait dengan mahar dan ruang lingkupnya.

II. PERMASALAHAN
Dalam permasalahan yang terdapat dalam makalah ini yaitu:
1. Pengertian dan hukum mahar?
2. Syarat-syarat Mahar?
3. Kaidah Jumlah Mahar?
4. Bagian-bagian Mahar?
5. Bagaimana cara menentukan jumlah mahar apabila terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mahar sebelum ditentukan?
6. Hikmah disyaratkan mahar?

III. PEMBAHASAN
1. Pengertian mahar
Mahar dalam istilah fiqih disebut juga shidaq, dalam bahasa indonesia sering disebut maskawain. Mahar adalah benda atau harta yang harus diberikan oleh mempelai pria kepada wanita dalam akad nikah.
Sedangkan mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara termonologi mahar adalah pemberian wajib dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).
Allah berfirman dalam QS An-Nisa :4
               
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan dengan senang hati.( QS An-Nisa :4)

Imam syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk menguasai seluruh anggota badannya.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun Nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib. Seperti dalam QS. An-Nisa ayat 4 dan sabda Rasulullah saw.
عن عامربن ر بيعة أن امراة من بني فررة تزوّج علي نعليت فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم : رضيب على نفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأ جزه (رواه احمد وابن ماجه والترمذي وصححه)
Dari Amir bin Rabi’ah :sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah Kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah Saw Bertanya kepada perempuan tersebut: relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan itu menjawab: ya, akhirnya Rasulullah SAW meluluskannya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi).
2. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut :
a. Harta / benda berharga ; tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat; tidak sah mahar dengan khamar, babi, darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan Ghasab ; Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah, namun akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau barang disebutkan jenisnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya mahar, barang atau benda tersebut bernilai dan mempunyai manfaat yang jelas.
3. Kadar (jumlah) mahar?
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Yang jelas, meskipun sedikit, ia wajib ditunaikan. Dasarnya adalah hadits Sahl Ibn Sa’ad Al-Sa’idi yang disepakati kesahihannya.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم جاء ته امرأة فقالت يارسول الله انى قد ذهبت نفس لك فقامت قياما طويلا فقام رجل فقال يا رسول الله زوجنيها ان لم يكن لك حاجة فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم هل معك من شئ تصدد اياه؟ فقال ما عندى الا ازار لك فا التمس شئا فقال لا اجد شئا. فقال عليه الصلاة والسلام التمس ولو ختما من جدد فلتمس فلم يجد شئا فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم هل معك من القران؟ قال نعم سورة كذ وسورة كذا بسور سماها فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم قد انكحتكها بما معك من القرأن (رواه مسلم)
Rasulullah SAW didatangi seorang perempuan, kemudian mengatakan: “wahai Rasulullah SAW, sungguh aku telah menyerahkan diriku kepada engkau ”, maka berdirilah wanita itu agak lama, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata : “wahai Rosulullah jodohkan saja dia dengan aku sekiranya engkau kurang berkenan.” Rasulullah saw bersabda: “apakah engkau mempunyai sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar) ?.” laki-laki itu menjawab: “saya tidak memiliki apa-apa selain sarungku ini.” Rasul bersabda : “kalau kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk tanpa busana, karena itu carilah sesuatu.” Laki-laki itu berkata : “aku tidak mendapati sesuatu”. Rasul bersabda lagi: “carilah, walaupun sekedar cincin besi”! maka laki-laki itu mencari, dan tidak mendapati sesuatu. Lalu rasul menanyakan lagi : “apakah kamu ada sesuatu dari al-Qur’an”? maka ia menjawab : “ya, surat ini dan surat ini, menyebut beberapa surat,” maka rasulullah SAW bersabda : “sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an.” (Riwayat Muslim).
Imam syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagian mahar tidak ada batas terandahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat di jadikan mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, / perak seberat tiga dirham, / bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
Dari dasar Hadits di atas menunjukkan tidak adanya batasan secara tegas mengenai berapa jumlah minimal mahar yang akan diberikan, karena itu cukuplah tepat apa yang dirumuskan pada pasal 31 KHI yang berbunyi “Penentu besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam”.

4. Bagian - bagian Mahar
Terdapat bagian-bagian mahar yaitu :
a. Mahar Mitsil, yaitu mahar yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada istri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai ukuran, berapakah biasanya mahar perempuan dikalangan keluarga istri itu. Mahar itu boleh saja dibayar tunai atau sebagian tunai dan sebagian dibayar kelak. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan dalam masyarakat.
b. Mahar Musamma, ialah mahar yang telah ditetapkan da telah dipersetujui oleh kedua belah pihak dengan tidak memandang kepada nilai mahar saudara-saudara perempuan itu.
5. Bagaimana cara menentukan jumlah mahar apabila terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mahar belum ditentukan?
Kalau seandainya seorang pria menceraikan istrinya sebelum berhubungan badan sebagai suami istri dan sebelum ditentukan maharnya, maka pria tersebut diperintahkan untuk memberikan mut’ah (pemberian) sebagai bekal bagi istri yang diceraikannya. Jumlah sesuai dengan kemampuan bagi dari kekayaan setempat. Dan seperti tercantum dalam QS Al-Baqarah : 236
                          

Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Al-Baqarah: 236)
Tetapi Imam Malik berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual, tidak wajib membayar mahar. Dalam keadaan begini, menurut Imam Malik istrinya menerima waris saja.
Namun lain lagi jika maharnya sudah ditentukan, tetapi terjadi perceraian antara suami istri dan belum terjadi hubungan seksual (qabla duhul) antar keduanya, suami wajib membayar mahar separuhnya saja dari yang ditetapkan.
Hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah 237
             … 
Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, (QS. Al-Baqarah 237)
Akan tetapi jika perceraian dilakukan sesudah ada hubungan seksual (ba’da duhul) maka istri berhak menuntut penuh sisa mahar yang telah ditetapkan / dijanjikan.

6. Hikmah disyaratkan Mahar antara lain:
a. Menunjukkan kemuliaan kaum wanita.
Hal ini menandakan bahwa merekalah yang dicari, bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-laki itulah yang mencari berusaha dan mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan wanita.
b. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, sehingga pemberian harta itu sebagai Nihlah dari padanya, yakni sebagai pemberian, hadiah, dan hibah, bukan sebagai pembayaran harga sang wanita.
c. Sebagai perlambang kesungguhan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan kaum laki-laki dengan begitu saja, dengan menyatakan kepada si wanita: “saya nikahi engkau,” sehingga menjadikannya terikat.
d. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluargan ditangan laki-laki (suami), karena kamampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan) lebih besar dibandingkan kaum wanita.

IV. ANALISIS
Dari pembahasan di atas, menurut hemat saya, mahar yang ideal dalam pernikahan Islam yaitu mahar yang sudah memenuhi syarat-syarat adanya mahar yang berupa syarat adanya Nilai dan Bermanfaat untuk digunakan atau diperlukan dalam kehidupan istri tersebut. Contoh dari mahar yang mempunyai syarat Nilai dan bermanfaat adalah uang. Karena mahar yang berupa uang dapat digunakan dan berfaedah untuk kebutuhan yang lainnya.
Mungkin cukup tepat apa yang dirumuskan dalam pasal 31 KHI yang lebih menekankan aspek kesederhanaan dan kemudahan. Hal ini menunjukkan pula bahwa pernikahan dalam Islam tidak sebagai jual beli melainkan lebih menekankan pada ibadahnya, yang mana disebutkan pula sebagai perjanjian yang kokoh.
Namun semua itu tidak terlepas dari tujuan pernikahan agar kehidupan rumah tangganya menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah Warahmah.

V. KESIMPULAN
Dalam pokok permasalahan yang ada mengenai mahar yaitu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kaitannya dengan mahar pada dasarnya para ulama sepakat untuk tidak ada batasan minimalnya, tetapi yang dianggap baik adalah pemberian mahar yang tidak berlebihan. Dan mahar tersebut sudah ada kesepakatan antara keduanya.
Pembagian mahar ada dua macam, yaitu :
1. Mahar mitsil, mahar yang secara sepantasnya yang wajib diberikan kepada istri tersebut. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan didalam masyarakat.
2. Mahar musamma, mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.
Seandainya terjadi perceraian antar suami istri maka jika perceraian dilakukan ba’da duhul maka berhak menuntut penuh sisa mahar yang dijanjikan itu. Namun jika perceraian terjadi qabla duhul, maka hanya separuh dari maharnya yang dijanjikan. Salah satu hikmah dari adanya pemberian mahar adalah untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, sehingga pemberian itu sebagai nihlah dari padanya.

VI. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif agar makalah menjadi sempurna. Kami berharap somoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya, Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Ash Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih II Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1985, Cet II.
Dewan Asatidz, dikutip dari www.pesantrenvitual.com/index.php?option=com_ content%task=view&id=326&item=30-20k-
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah dan Keluarga Jakarta: Gema Insani, 1999.
Ghazaky, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.
http://salafutobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-munakahat-pernikahan-mas-kawin-walimatulurus-dsb/-179k-
Qardhawi, Yusuf, Fatwa –Fatwa Kontemorer, Jakarta : Gema Insani Press, 1995 Cet I.
Tim Editor Qomari, Al-Qur’an dan Terjemahnya 30 Juz Revisi Depag terbaru Solo: PT. Qomari Prima Publiser, 2007.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.