Senin, 30 Agustus 2010

mahar yang ideal dalam pernikahan hukum islam

MAHAR YANG IDEAL DALAM PERNIKAHAN ISLAM

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya Nikah menurut Bahasa artinya penyatuan, diartikan juga sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut syari’at, nikah juga berarti akad. Jadi pernikahan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara di ridhoi Allah SWT.
Sebelum diadakannya pernikahan atau akad Nikah, calon mempelai pria dan wanita mempersiapkan mahar, yang mana mahar merupakan salah satu syarat sahnya sebuah akad nikah.
Berkenaan dengan mahar, pada masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kedzaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali akan hak-haknya untuk menikah seta bercerai. Juga mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka (kaum wanita).
Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman pada QS. An-Nisa ayat 4 yang artinya “Berilah maskawin (mahar) kepada wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…” Dalam makalah ini akan menjabarkan yang terkait dengan mahar dan ruang lingkupnya.

II. PERMASALAHAN
Dalam permasalahan yang terdapat dalam makalah ini yaitu:
1. Pengertian dan hukum mahar?
2. Syarat-syarat Mahar?
3. Kaidah Jumlah Mahar?
4. Bagian-bagian Mahar?
5. Bagaimana cara menentukan jumlah mahar apabila terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mahar sebelum ditentukan?
6. Hikmah disyaratkan mahar?

III. PEMBAHASAN
1. Pengertian mahar
Mahar dalam istilah fiqih disebut juga shidaq, dalam bahasa indonesia sering disebut maskawain. Mahar adalah benda atau harta yang harus diberikan oleh mempelai pria kepada wanita dalam akad nikah.
Sedangkan mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara termonologi mahar adalah pemberian wajib dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).
Allah berfirman dalam QS An-Nisa :4
               
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan dengan senang hati.( QS An-Nisa :4)

Imam syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk menguasai seluruh anggota badannya.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun Nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib. Seperti dalam QS. An-Nisa ayat 4 dan sabda Rasulullah saw.
عن عامربن ر بيعة أن امراة من بني فررة تزوّج علي نعليت فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم : رضيب على نفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأ جزه (رواه احمد وابن ماجه والترمذي وصححه)
Dari Amir bin Rabi’ah :sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah Kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah Saw Bertanya kepada perempuan tersebut: relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan itu menjawab: ya, akhirnya Rasulullah SAW meluluskannya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi).
2. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut :
a. Harta / benda berharga ; tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat; tidak sah mahar dengan khamar, babi, darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan Ghasab ; Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah, namun akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau barang disebutkan jenisnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya mahar, barang atau benda tersebut bernilai dan mempunyai manfaat yang jelas.
3. Kadar (jumlah) mahar?
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Yang jelas, meskipun sedikit, ia wajib ditunaikan. Dasarnya adalah hadits Sahl Ibn Sa’ad Al-Sa’idi yang disepakati kesahihannya.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم جاء ته امرأة فقالت يارسول الله انى قد ذهبت نفس لك فقامت قياما طويلا فقام رجل فقال يا رسول الله زوجنيها ان لم يكن لك حاجة فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم هل معك من شئ تصدد اياه؟ فقال ما عندى الا ازار لك فا التمس شئا فقال لا اجد شئا. فقال عليه الصلاة والسلام التمس ولو ختما من جدد فلتمس فلم يجد شئا فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم هل معك من القران؟ قال نعم سورة كذ وسورة كذا بسور سماها فقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم قد انكحتكها بما معك من القرأن (رواه مسلم)
Rasulullah SAW didatangi seorang perempuan, kemudian mengatakan: “wahai Rasulullah SAW, sungguh aku telah menyerahkan diriku kepada engkau ”, maka berdirilah wanita itu agak lama, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata : “wahai Rosulullah jodohkan saja dia dengan aku sekiranya engkau kurang berkenan.” Rasulullah saw bersabda: “apakah engkau mempunyai sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar) ?.” laki-laki itu menjawab: “saya tidak memiliki apa-apa selain sarungku ini.” Rasul bersabda : “kalau kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk tanpa busana, karena itu carilah sesuatu.” Laki-laki itu berkata : “aku tidak mendapati sesuatu”. Rasul bersabda lagi: “carilah, walaupun sekedar cincin besi”! maka laki-laki itu mencari, dan tidak mendapati sesuatu. Lalu rasul menanyakan lagi : “apakah kamu ada sesuatu dari al-Qur’an”? maka ia menjawab : “ya, surat ini dan surat ini, menyebut beberapa surat,” maka rasulullah SAW bersabda : “sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an.” (Riwayat Muslim).
Imam syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagian mahar tidak ada batas terandahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat di jadikan mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, / perak seberat tiga dirham, / bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
Dari dasar Hadits di atas menunjukkan tidak adanya batasan secara tegas mengenai berapa jumlah minimal mahar yang akan diberikan, karena itu cukuplah tepat apa yang dirumuskan pada pasal 31 KHI yang berbunyi “Penentu besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam”.

4. Bagian - bagian Mahar
Terdapat bagian-bagian mahar yaitu :
a. Mahar Mitsil, yaitu mahar yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada istri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai ukuran, berapakah biasanya mahar perempuan dikalangan keluarga istri itu. Mahar itu boleh saja dibayar tunai atau sebagian tunai dan sebagian dibayar kelak. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan dalam masyarakat.
b. Mahar Musamma, ialah mahar yang telah ditetapkan da telah dipersetujui oleh kedua belah pihak dengan tidak memandang kepada nilai mahar saudara-saudara perempuan itu.
5. Bagaimana cara menentukan jumlah mahar apabila terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mahar belum ditentukan?
Kalau seandainya seorang pria menceraikan istrinya sebelum berhubungan badan sebagai suami istri dan sebelum ditentukan maharnya, maka pria tersebut diperintahkan untuk memberikan mut’ah (pemberian) sebagai bekal bagi istri yang diceraikannya. Jumlah sesuai dengan kemampuan bagi dari kekayaan setempat. Dan seperti tercantum dalam QS Al-Baqarah : 236
                          

Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Al-Baqarah: 236)
Tetapi Imam Malik berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual, tidak wajib membayar mahar. Dalam keadaan begini, menurut Imam Malik istrinya menerima waris saja.
Namun lain lagi jika maharnya sudah ditentukan, tetapi terjadi perceraian antara suami istri dan belum terjadi hubungan seksual (qabla duhul) antar keduanya, suami wajib membayar mahar separuhnya saja dari yang ditetapkan.
Hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah 237
             … 
Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, (QS. Al-Baqarah 237)
Akan tetapi jika perceraian dilakukan sesudah ada hubungan seksual (ba’da duhul) maka istri berhak menuntut penuh sisa mahar yang telah ditetapkan / dijanjikan.

6. Hikmah disyaratkan Mahar antara lain:
a. Menunjukkan kemuliaan kaum wanita.
Hal ini menandakan bahwa merekalah yang dicari, bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-laki itulah yang mencari berusaha dan mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan wanita.
b. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, sehingga pemberian harta itu sebagai Nihlah dari padanya, yakni sebagai pemberian, hadiah, dan hibah, bukan sebagai pembayaran harga sang wanita.
c. Sebagai perlambang kesungguhan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan kaum laki-laki dengan begitu saja, dengan menyatakan kepada si wanita: “saya nikahi engkau,” sehingga menjadikannya terikat.
d. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluargan ditangan laki-laki (suami), karena kamampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan) lebih besar dibandingkan kaum wanita.

IV. ANALISIS
Dari pembahasan di atas, menurut hemat saya, mahar yang ideal dalam pernikahan Islam yaitu mahar yang sudah memenuhi syarat-syarat adanya mahar yang berupa syarat adanya Nilai dan Bermanfaat untuk digunakan atau diperlukan dalam kehidupan istri tersebut. Contoh dari mahar yang mempunyai syarat Nilai dan bermanfaat adalah uang. Karena mahar yang berupa uang dapat digunakan dan berfaedah untuk kebutuhan yang lainnya.
Mungkin cukup tepat apa yang dirumuskan dalam pasal 31 KHI yang lebih menekankan aspek kesederhanaan dan kemudahan. Hal ini menunjukkan pula bahwa pernikahan dalam Islam tidak sebagai jual beli melainkan lebih menekankan pada ibadahnya, yang mana disebutkan pula sebagai perjanjian yang kokoh.
Namun semua itu tidak terlepas dari tujuan pernikahan agar kehidupan rumah tangganya menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah Warahmah.

V. KESIMPULAN
Dalam pokok permasalahan yang ada mengenai mahar yaitu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kaitannya dengan mahar pada dasarnya para ulama sepakat untuk tidak ada batasan minimalnya, tetapi yang dianggap baik adalah pemberian mahar yang tidak berlebihan. Dan mahar tersebut sudah ada kesepakatan antara keduanya.
Pembagian mahar ada dua macam, yaitu :
1. Mahar mitsil, mahar yang secara sepantasnya yang wajib diberikan kepada istri tersebut. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan didalam masyarakat.
2. Mahar musamma, mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.
Seandainya terjadi perceraian antar suami istri maka jika perceraian dilakukan ba’da duhul maka berhak menuntut penuh sisa mahar yang dijanjikan itu. Namun jika perceraian terjadi qabla duhul, maka hanya separuh dari maharnya yang dijanjikan. Salah satu hikmah dari adanya pemberian mahar adalah untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, sehingga pemberian itu sebagai nihlah dari padanya.

VI. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif agar makalah menjadi sempurna. Kami berharap somoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya, Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Ash Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih II Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1985, Cet II.
Dewan Asatidz, dikutip dari www.pesantrenvitual.com/index.php?option=com_ content%task=view&id=326&item=30-20k-
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah dan Keluarga Jakarta: Gema Insani, 1999.
Ghazaky, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.
http://salafutobat.wordpress.com/2008/09/01/fiqh-munakahat-pernikahan-mas-kawin-walimatulurus-dsb/-179k-
Qardhawi, Yusuf, Fatwa –Fatwa Kontemorer, Jakarta : Gema Insani Press, 1995 Cet I.
Tim Editor Qomari, Al-Qur’an dan Terjemahnya 30 Juz Revisi Depag terbaru Solo: PT. Qomari Prima Publiser, 2007.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar