Senin, 30 Agustus 2010

BELENGGU KASUS SOEHARTO DIDALAM PROSES SURAT KEPUTUSAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKP3)

BELENGGU KASUS SOEHARTO DIDALAM PROSES SURAT KEPUTUSAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKP3)

I. PENDAHULUAN
Dalam hukum acara pidana dapat pula di artikan secara luas dan sempit. Apabila hukum Acara Pidana di pandang dari segi Tugas,Fungsi,Wewenang,Kewajiban dan Hak-hak dari Pejabat-pejabat yang berwenang dalam Penyidikan,Penuntutan, dan Mengadili, maka ia termasuk Hukum Tata Negara dan administrasi Negara. Ini yang disebut Hukum Acara Pina dalam Arti luas. Sedang dalam arti sempit yaitu kalu kita melihat hukum acara Pidana itu berjalan apabila ada persangkaan Hukum Pidana dilanggar.
Secara formal dalam hukum acara Pidana apabila Pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka penyidikan dipandang cukup, maka penyidik segera membuat berita acara penyidikan. Pada berita acara penyidikan ini sekaligus terlampir pula semua berita acara yang dibuat penyidik sehubungan dengan tindakan-tindakan yang diprrlukan dalam penyidikan,termasuk berita acara keterangan tersangka,berita acara keterangan saksi,berita acara penahanan,berita acara penggeledahan,berita acara penyitaan,berita acara pemeriksaan surat dan lain sebagainya.
Apabila penyidik telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Adapun cara penyerahan berkas perkara tersebut dilakukan sebagai berikut:
• Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas aperkara;
• Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesi,penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (pasal 8 KUHAP).
Tetapi apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan tersebut dianggap masih kurang lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum dalam waktu empat belas hari,penyidik harus menyampaikan kembali kepada penuntut umum (pasal 110-ayat(2) dan (3) dan pasal 138 ayat(2) KUHAP)
Namun adakalanya penyidik tidak meneruskan ketahap penuntutan disebabkan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikannya harus dihentikan demi hukum. Hal ini dikarenakan ada ketentuan pasal 75 KUKP (Pencabutan pengaduan), 76 KUHP (Nebis in idem), pasal 77 KUHP (Karena tersangka meninggal dunia), dan pasal 78 KUHP (Kadaluwarsa). Untuk itu penyidik mengeluarkan surat penetapan penghentiam penyidikan dan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,tersangka atau keluarga (pasal 109 ayat (2) KUHAP).
Akan tetapi, dalam penuntut umum terdapat pada pasal 140 ayat 2 KUHAP. Dalam hal demikian maka penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan,yang mana disebut pula surat keputusan penghentian penuntutan perkara.

II. PERMASALAHAN
Dari paparan diatas terdapat permasalahan yang ada, yaitu:
1. Apa tugas dan Wewenang Penuntut umum?
2. Contoh kasus dalam Penuntutan umum.?
3. Bagaiman Analisis terhadap kasus tersebut?

III. PEMBAHASAN
A. Tugas dan wewenang Penuntut umum
Didalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang berwenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Menurut pasal 14 KUHAP, Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila kekurangan pada penyidikan;
c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dari atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab penuntut umum;
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Menurut pasal 140 KUHAP,Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan,maka ia segera membuat surat dakwaan.
Tujuan surat dakwaan adalah bahwa Undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa pidana,untuk itu harus ditulis dengan sebaik-baiknya.
Kembali mengenai persoalan penuntutan ialah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dengan suatu tuntutan (permintaan) supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. Ibidang penuntutan ini dikenal dua asa, yaitu asas opportunitas dan asa legalitas.
Asas oportunitas menghendaki, walupun bukti-bukti cukup tentang kesalahan tersangka,tetapi jika penuntut umum ver[endapat bahwa akan lebih baik banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut tersangka tersebut dari pada tidak menuntutnya,maka ia berwenang untuk menyampingkannya (mendeponir).
Secara tegas asas oportunitas di cantumkan dalam pasal 8 Undang-undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), yang menyatakan bahwa Jaksa agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Akan tetapi apabila Jaksa akan menyampingkan perkara harus musyawarah terlebih dahulu dengan Pejabat tinggi, misalnya Kapolri,Menhankam, dan kau perlu langsung Presiden.
Asas legalitas apabila terjadi suatu tindak pidana maka penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang telah melanggar undang-undang pidana tersebut,dalam arti keharusannya untuk menuntut pidana.
Status perkara dapat pula dihentikan penuntutanya oleh penuntut umum jika ia berpendapat bahwa hasil penyidikannya tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perjara harus di tutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 KUHAP). Dalam hal tersebut maka penuntut umum menuangkan kedalam Surat ketetapan.
B. Contoh kasus dalam Penuntutan umum.
Kasus Dugaan Korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan agung sejak tahun 1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suryono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Triharmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutama Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare diCiteurep Bogor,, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputan Peenghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
12 Juni 2006 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan.

C. Analisis terhadap kasus tersebut.
Sekitar awal Mei 2006, kesehatan mantan Presiden Soeharto memburuk dan segera merebak kembali kontroversi kasus hukumnya yang telah berlarut-larut sejak tahun 2000.
Atas dasar kebutuhan untuk segera memberikan keadilan dan kepastian hukum, tanggal 12 Mei 2006 saya selaku Jaksa Agung memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara atau SKPPP atas perkara Soeharto. Bukan surat ketetapan penghentian penyidikan atau SKPP seperti ditulis Romli Atmasasmita (Kompas, 9/1/2008). Istilah SKPP tidak dikenal dalam KUHAP. Di samping SKPPP (SKP3), yang dikenal adalah SPPP (SP3) atau surat perintah penghentian penyidikan.
Sudah final
Dalam mencari solusi hukum yang tepat, Kejaksaan dihadapkan pada tiga kewenangan, yaitu menerbitkan SP3, deponeering sebagai hak oportunitas Jaksa Agung, dan menerbitkan SKP3.
SP3 tak menjadi pilihan karena kebijakan ini hanya bisa dilakukan jika bukti-bukti yang ada tak memungkinkan sebuah perkara dilanjutkan ke tahap penuntutan. Dalam kasus Soeharto, penyidikan sudah final dan perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Deponeering pernah menjadi pikiran alternatif. Namun setelah melalui kajian yang mendalam, alternatif ini dikesampingkan karena beberapa sebab. Pertama, sesuai ketentuan Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan, deponeering hanya bisa dikeluarkan dengan alasan demi kepentingan umum. Dalam penjelasan dikatakan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, dan dalam pelaksanaannya Jaksa Agung harus terlebih dahulu mempertimbangkan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dua hal dalam penjelasan ini berpotensi menimbulkan perdebatan dan kontroversi sehingga persoalan berlarut-larut dan tak segera diperoleh kepastian hukum.
Kedua, deponeering tidak berbicara mengenai pembuktian. Dalam deponeering perkara dikesampingkan bukan karena bukti lemah atau kurang lengkap, melainkan karena untuk kepentingan umum. Demi kepentingan umum—dengan makna dan batasan yang belum jelas—sebuah perkara bisa dikesampingkan meskipun sebenarnya bukti-bukti cukup kuat. Ketiga, deponeering hanya bisa dilakukan jika perkara belum masuk tahap penuntutan. Dalam kasus Soeharto, perkara sudah masuk ke proses pengadilan sehingga tidak mungkin deponeering ditempuh.
"In absentia"
Bagaimana dengan in absentia? Konsep in absentia bisa diterapkan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah (Pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Sementara dalam kasus Soeharto, alasan tidak hadir di persidangan adalah alasan sah yang dikemukakan oleh tim dokter independen yang ditunjuk oleh penegak hukum.
Dua tim dokter independen yang memeriksa kesehatan Soeharto memberikan kesimpulan yang tidak jauh beda, yaitu Soeharto, secara medis baik dari segi fisik maupun mental, dalam keadaan tak laik (unfit) untuk disidangkan. Kondisi unfit to stand trial merupakan alasan yang sah untuk tidak memenuhi panggilan persidangan. Karena itu, konsep in absentia tidak bisa diterapkan dalam kasus Soeharto.
SKPPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara)
Setelah menimbang serangkaian alternatif yang ada, Jaksa Agung memutuskan demi hukum mengeluarkan SKPPP, dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, kondisi sakit permanen menyebabkan Soeharto tidak mungkin dihadirkan ke persidangan. Ini adalah praktik hukum universal dan bentuk penghormatan pada hak asasi manusia. Kedua, SKPPP bukan merupakan bentuk penghapusan penuntutan ataupun pengampunan, dan tidak menghalangi perkara dibuka dan dilanjutkan kembali.
Pasal 140 Ayat (2) d KUHAP memungkinkan penuntut umum membuka kembali perkara yang sudah dihentikan penuntutannya apabila di kemudian hari terdapat alasan baru, misalnya tim dokter menyatakan Soeharto telah sembuh. Dengan demikian, SKPPP merupakan pilihan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan Ketetapan MPR tentang keharusan mengusut kasus korupsi Soeharto.
Atas keluarnya SKPPP ini, Jaksa Agung kemudian dipraperadilankan oleh sejumlah LSM, akademisi, dan mereka yang tidak setuju. Di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, SKPPP dinyatakan tidak sah demi hukum. Namun, dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, SKPPP diputuskan sah demi hukum dan permohonan praperadilan ditolak. Apa artinya? Artinya, kasus pidana Soeharto secara hukum sudah final, tidak dapat dibuka kembali, kecuali tim dokter menyatakan sembuh sehingga beliau fit to stand trial.
Gugatan perdata
SKPPP bukan merupakan kebijakan tunggal Kejaksaan Agung dalam menangani kasus Soeharto. Segera setelah mengeluarkan SKPPP, saya memproses gugatan perdata terhadap Soeharto. Surat kuasa gugatan perdata ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan penerima kuasa Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung waktu itu. Kejaksaan yakin terdapat bukti-bukti yang kuat, akan adanya perbuatan melawan hukum oleh Soeharto dalam pengelolaan yayasan yang dipimpinnya.
Gugatan perdata tidak selalu harus dimulai atau terkait dengan perkara pidana. Doktrin maupun praktik hukum mengajarkan bahwa gugatan perdata tidak harus dimulai dengan pembuktian pidana terlebih dahulu. Ada beribu- ribu perkara perdata yang tanpa didahului atau terkait dengan proses pidana. Dua jenis perkara tersebut bisa dilakukan bersama- sama atau terpisah. Proses perdata tidak mensyaratkan kehadiran terdakwa di persidangan, dan terus dilanjutkan kendati Soeharto sudah meninggal dunia karena gugatan bisa dialihkan ke para ahli warisnya.
Sepanjang kita berdiri dan menghormati negara hukum, kenyataan ini harus diterima.

IV. KESIMPULAN
Dalam hal tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa proses tersebut diatas termasuk pada Praoeradilan,tercantum pada pasal 77 yang berkaitan dengan pasal 78 KUHP. Prapradilan adalah uewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan,penahanan,penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Namun dalam kasus tersebut diatas ada talik ulur antara pihak Pengadilan dan Kejaksaan dalam penanganan pengeluaran SKP3. Yang jelas SKP3 dikeluarkan karena ada tiga kualifikasi menurut pasal 140 KUHP yaitu tidak adanya Cukup bukti, tindakan yang disangkakan bukan Tindak pidana, dan Perkara di tutup demi hukum.
Dalam penuntutan terdapat dua asas yaitu Asas opportunitas dan Asas legalitas. Asas oportunitas menghendaki, walupun bukti-bukti cukup tentang kesalahan tersangka,tetapi jika penuntut umum ver[endapat bahwa akan lebih baik banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut tersangka tersebut dari pada tidak menuntutnya,maka ia berwenang untuk menyampingkannya (mendeponir). Dan asas legalitas apabila terjadi suatu tindak pidana maka penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang telah melanggar undang-undang pidana tersebut,dalam arti keharusannya untuk menuntut pidana.

V. SARAN DAN KRITIK
Sungguh kesombongan dan kecongkakan bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan biak dari segi materi maupun segi metodologi, semoga makalah ini bermanfaat. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Saleh, www.kompas.com/kompas-cetak/0801/12/opini/4160832.htm

Suryono sutarto dan Sudarsono,Hukum acara pidana I.II,Semarang:Yayasan Cendekia Purna Dharma,1999.
id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar