Senin, 30 Agustus 2010

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tak hanya didasarkan hanya kepada kebutuhan sandang pangan dan papan saja, tetapi juga sarana penunjang bagi jiwa serta rohani yang disebut dengan pendidikan. Walaupun budaya jawa kental dengan budaya animisme tetapi tidak melupakan pendidikan bahkan sebelum agama hindu dan budha datang dan berkembang orang jawa telah mengenal pendidikan. Kaitannya dengan islam pendidikan merupakan sarana yang dianggap paling tepat dalam hal penyebaran agama islam itu sendiri, karena merupakan alat yang paling tepat untuk menggali potensi yang ada dalam diri seorang manusia
Sebagai agama dakwah, Islam tidak berhenti dan berada di luar realitas kehidupan manusia, tetapi masuk ke seluruh segi kehidupannya. Keberadaan Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, baik individu maupun sosial bersifat unik. Hal itu karena Islam tidak ingin membentuk kebudayaan yang monolitik. Terbukti bahwa masyarakat Islam di suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya memiliki kebudayaan yang berbeda. Islam telah memberi peluang kepada pemeluknya untuk mengembangkan budaya di daerah masing-masing, sepanjang tidak menyalahi prinsip-prinsip Islam sendiri.
Sementara itu bidang pendidikan sebagai bagian dari realitas masyarakat Jawa cukup menarik untuk diperbincangkan. Sehubungan dengan usaha sungguh-sungguh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia lewat Pendidikan.

B. PERMASALAHAN
Yang menjadi batasan permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di Jawa?
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam?
3. Sistem Pendidikan Kolonial?


C. PEMBAHASAN
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di jawa
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pendidikan pada masa Hindhu Budha akan penulis sampaikan pendidikan sebelum Hindhu Budha masuk di tanah jawa. Pendidikan di tanah jawa sudah ada sebelum Hindhu Budha masuk ke tanah jawa, walaupun pada awalnya hanya merupakan sekedar pendidikan yang hanya bertujuan untuk kehidupan sehari-hari atau suatu cara untuk bertahan hidup, sering dikatakan untuk mencari makan. Seperti tata krama, berhitung dan juga membaca.
Telah kita ketahui masuknya hindu-budha juga mempengarui kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelunya masyarakat indonesia belum mengenal tulisan namun dengan masuknya hindu-budha, sebagian masyarakat indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Buktinya yaitu denagn digunakannya bahasa sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan dikalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah digunakan bahasa kawi bahasa jawa kuno, dan bahasa bali kuno yang merupakan turunan dari bahasa sansekerta.
Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Pada masa-masa kerajaan Hindhu Budha berkuasa di tanah jawa, ada semacam pengelompokan status dalam masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kasta. Pengelompokan status ini didasarkan pada harkat, martabat dan derajad. Ada 3 kelompok status atau yang dikenal dengan kasta, yaitu Ksatria, Brahmana dan Sudra.
Pengelompokan status ini sangat mempengaruhi tingkat pendidikan seseorang, semisal seseorang yang mempunyai tingkatan status atau kasta yang paling rendah yaitu Sudra, maka ia tidak diperbolehkan untuk mendapat pendidikan formal atau dengan bahasa lain tidak diperbolehkan untuk sekolah. Berbeda jauh dengan dengan mereka yang berkasta diatasnya. Mereka secara bebas diperbolehkan untuk mendapat pendidikan baik formal maupun informal.
. Pendidikan pada masa Hindhu Budha, banyak dipengaruhi oleh peraturan yang ada dalam kitab suci mereka.
Pada massa Hindu Budha ini, Brahmana merupakan golongan menyelenggarakan pendidikan dan Pengajaran. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain Sosiologi, Bahasa dan Sastra, Ilmu Kemasyarakatan, Ilmu Exacta seperti ilmu perbintangan, Ilmu pasti perhitungan waktu, seni Bangunan, Seni Rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil asrama khusus seperti fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dengan perkembangannya, kebudayaan Hindu Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan hindu terakhir runtuh pada abad 15 tetap ilmu pengetahuannya berkembang khususnya dalam bidang Bahasa dan Sastra, Ilmu Pemerintah, Tata Negara dan Hukum.
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dendan jumlah murid relative terbatas dan bobot materi yang bersifat Spiritual Religius. Para murid disini selain belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengelola Pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi.
2. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain.
3. Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu.
4. Pendidikan kejuruan dan keterampilan dilakukan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa hindu-budha kemudian berlanjut pada masa islam. Bisa dikatakan sistem pada masa islam merupakan akulturasi antara sistem pendidikan patapan hindu-budha dengan sistem pendidikan islam yang telah mengenal uzlah (menyendiri). Masuknya Islam di Jawa mempunyai pengaruh yang besar dalam segala hal, dari segi sosial, budaya, politik dan juga pendidikan. Kedatangan Islam di tanah jawa yang menurut sejarah dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat India. Hal ini sangat menguntungkan Islam, ini dikarenakan Islam yang dibawa sudah dalam suatu bentuk yang dipengaruhi oleh sufisme dan mistik Islam.
Pendidikan juga berpengaruh pada masa sebelum walisongo datang, yang mana kerajaan islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan pase atau kerajaan samudera di daerah Aceh yang berdiri abad ke 10 M dengan Raja yang pertama adalah Al-malik Ibrahim bin mahdum, yang kedua bernama Al-malik al saleh dan yang terakhir bernama Al-malik sabar syah (tahun 1444M / Abad ke 15H). Pada tahun 1345M Ibnu Batutah dari Maroko mengelilingi dunia dan singgah di kerajaan pase pada zaman Al Malik al zahir.
Keterangan Ibnu Batutah dapat ditarik kepada sistem pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan pase aebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at ialah fiqh madzab syafi’i;
b. Sistem pendidikanya secara formal berupa majlis taklim dan halaqah;
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama;
d. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.

Kerajaan islam yang kedua di Indonesia adalah perlak di Aceh, rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1184H/abad 12M). Raja yang ke-6 bernama Sultan Mahmud Alaudin Muhammad Amin, adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam. Lembaga tersebut mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi. Dari Malaka islam dapat tersebar ke daerah lain melalui perdagangan,antara lain masuk ke jawa. Jadi islam di jawa dibawa oleh muballigh dari Aceh dan dari Malaka.
Dakwah di Jawa makin memperoleah bentuknya yang lebih mantap dengan adanya Walisongo. Walisongo juga mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan khususnya di Jawa. Disini ada hubungan timbal balik antara peran Walisongo dengan kerajaan Demak di bidang dakwah islam, Raden Fatah menjadi Raja adalah atas keputusan para wali juga.
Pada tahun 1475 Raden Fatah mendirikan Pesantren di Hutan, ”Gelagah Arum” yang menjadi kota Bintoro serta mendirikan Organisasi dakwah Bayangkari Islam. Maksudnya ialah untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam menurut rencana yanh teratur. Itulah organisasi pendidikan pertama yang dibentuk di Indonesia.
Dibawah ini akan diuraikan mengenai sistem pendidikan dari para Walisongo:
1. Maulana Malik Ibrahim (Maulana Syekh Maghribi)
Maulana malik ibrahim digembleng dengan pendidikan sistem pondok pesantren. Beliau mencetak kader muballigh selama 20 tahun. Antara Malik ibrahim dengan para wali yang lain atau antara para wali itu sendiri selain di ikat oleh hubungan pendidikan juga dengan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan atau menantu,ipar. Secara garis besar sistem pendidikan beliau dilakukan yang ada di sekeliling beliau terlebih dahulu, yaitu keluarga.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel mewarisi pondok pesantren ayahnya yaitu Malik Ibrahim. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban. Dapat disimpulkan adanya hubungan antara ulama dengan Umara, hubungan itu dijalani dengan dakwah.
3. Sunan Bonang (Maulana Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Beliau mengarang lagu-lagu gending jawa yang berisi tentang keislaman antara lain Tembang Macapat.
4. Sunan Derajat (Raden Qasim)
Sunan Derajat adalah adik dari Sunan Bonang, beliau menjadi penasihat dan pembantu Raden Fatah dalam pemerintahan. Perhatiannya secara khusus ditujukan kepada kesejahteraan sosial kaum fakir miskin, mengorganisir amil, zakat, dan infak. Titik tekannya daam pendidikan ialah lebih kepada jiwa sosial dan keagamaan.
5. Sunan Giri (Raden Paku = Raden Ainulyaqin)
Beliau adalah saudara sepupu Sunan Ampel. Sunan Giri menitikberatkan kegiatan dibidang pendidikan, susunan materi pengajaran ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase di Acehyang berhaluan madzab syafi’i. Dengan demikian maka beliau berfungsi sebagai pemersatu indonesia di bidang pendidikan islam.
6. Sunan Kudus (Raden Amin Haji = Ja’far Sadiq)
7. Sunan Muria (Raden Prawoto = Raden Said)
8. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
9. Sunan Gunungjati (Raden Abdul Qadir = Syarif Hidayatullah = Fatahillah)

Dalam Islam tidak mengenal dengan istilah kasta seperti yang terjadi pada masa-masa Kerajaan Hindhu Budha. Setelah Islam masuk dengan segera sistim kasta ini dihapus, setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam tatanan kehidupan. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan atau malah lebih diwajibkan untuk mengikuti pendidikan. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang mendasar antara pendidikan pada masa Hindhu Budha dengan pendidikan Islam.
Beberapa pendekatan pendidikan dalam Islam :
a). Pendekatan Pendidikan pada Masa Walisongo yaitu :
1. Modeling
Jika dalam dunia Islam Rasulullah adalah pemimpin dan panutan central yang tidak diragukan lagi, Maka dalam masyarakat santri jawa kepemimpinan rasullullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para walisongo yang kemudian dari sampi kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah nabi. Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa.
2. Subtansi bukan kulit luar
Ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits pada dasarnya, berkisar tentang hubungan antara Tuhan dengan Makhluk di bumi, dan tentu bagaimana agar makhluk selamat dunia akhirat. Dengan demikian, tujuan walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori modalitas hubungan Allah SWT dengan hambanya agar mudah ditangkap. Karena lebih mengutamakan pendekatan substansial yang barangkali dapat dijadikan indikasi mengapa Islam di jawa begitu menguatkan hingga abad 15-16.
3. Pendidikan Islam yang tidak Diskriminatif.
Bahwa pendidikan islam walisongo ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren . pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan kiblat bagi dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan walisongo ini telah melembaga pada tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal, semua ini adalah warisan dari walisongo.
4. Pendidikan Agama yang Understandable dan Apliccable.
Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan jawa arep atatakena ilmu sekedare lan lampahaken (carilah ilmu yang dapat engkau praktekkan dan terapkan). Pola ini juga menyajikan pendidikan islam melalui media wayang yang memasyarakatkan dapat ditemukan dalam cerita pewayangan seperti Sahadatain dalam kisah Mahabarata.
5. Pendekatan Kasih Sayang
Bagi walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama, mendidik murid sama halnya mendidik anak sendiri.

b). Pendekatan Pendidikan Pada Masa Sultan Agung. Yaitu :
Satu abad setelah masa walisongo, abad 17 pengaruh walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah mataram dari tahun 1615-1635.
Sistem Pendidikan pada masa Sultan Agung Yaitu :
1) Takhasus Pesantren
Yaitu dengan spesifikasi pengetahuan keislaman (Tingkat Tertinggi).
2) Pesantren Besar dan Umum.
Mata pelajaran : Fiqh, Tafsir, Tasawuf dll. (Tingkat Tinggi)
3) Pesantren dengan daerah dengan kitab-kitab elementer (Tingkat Tinggi).
4) Tingkat Dasar.
Kelas-kelas Al-Qur’an diberbagai tempat diperuntukkan anak-anak tujuh tahun. Tujuannya membekali para santri dengan kemampuan membaca Al-Qur’an.
3. Sistem Pendidikan Kolonial
Pendidikan pada zaman kolonial mengalami penurunan yang sangat drastis pada bidang pendidikan formal. Memeng pada saat zaman penjajahan belanda, dikenal dengan adanya kebijakan “Politik Etis” pada akhir abad ke-13 yaitu kebijakan pemerintahan Belanda sebagai balas budi kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan masih sangat terbatas baik dari segi jumlah yang mendapat pendidikan atau pun dari segi pendidikan yang diberikan. Dalam bukunya M.Sulthon Masyhud menurut Brugmans mencatat pada tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang bersekolah hanya mencapai 1,3 juta jiwa. Padahal penduduk di pulau jawa hingga tahun 1930 mencapai 41,7 juta jiwa, ini berarti ada sekitar 97 persen penduduk Indonesia yang masih buta huruf.
Kurang meratanya pendidikan dalam hal, siapa yang mendapat pendidikan ini dipengaruhi factor penerapan “Politik Etis” itu sendiri. Jika pada saat masa-masa Hindhu Budha terjadi pengelompokan status kemasyarakatan yang dilihat dari harkat, martabat, derajad manusia. Pendidikan pada zaman kolonial tidak jauh beda pada masa Hindhu Budha, pengelompokan masyarakat sangat terasa pada saat itu. Pada masa kolonial dikenal dengan adanya istilah “priyayi dan wong cilik” . Istilah priyayi ditunjukan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan atau bisa juga kepada orang-orang kaya, seperti contoh para raja, Adipati (orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan) ataupun juga para pedagang yang kaya. Sedangkan wong cilik ditujukan kepada orang-orang yang hidup kekurangan atau miskin, seperti contoh para petani, nelayan dan pekerja pabrik.
Pemerintah kolonial hanya memberikan pendidikan kepada orang-orang yang masuk dalam kategori priyayi saja, sedangkan wong cilik tidak diberikan pendidikan sama sekali malah cenderung dilarang untuk mendapat pendidikan.

4. Pondok Pesantren
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan lembaga atau system pendidikan yang tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan adanya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”).
Bentuk ini kemudian berkembang dengan mendirikan tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut dengan pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum Muslimin Indonesia mendalami doktrin Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Pada masa-masa awal berdirinya pesantren, sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf arab dan Al-qur’an. Sementara, pesantren yang agak lebih tinggi adalah pesantren yang mengajarkan kitab-kitab fiqih, ilimu akidah, amalan sufi dan tata bahasa Arab (Nahwu Sharaf).
Ciri umum yang dimiliki pesantren sebagai kultur khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya, yaitu cara pembelajarannya yang unik. Sang kyai yang biasanya pendiri sekaligus pemilik pesantren membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan (atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning) sementara para santri mendengar dengan memberi catatan pada kitab yang sedang dibaca. Selain itu para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai menyimak dan mengoreksi bacaan santri tersebut.
Secara garis besar, pesantren sekarang ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Yaitu Pesantren yang masih mempertahankan system pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut Kitab Kuning. System pengajaran yang digunakan ialah system Sorogan dan sitem Bandongan.
2. Pesantren Modern.
Merupakan pesntren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh system klasikal dan sekolah kedalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi menjadi tingkatan kelas, dimana pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol (bahkan hanya sekedar pelengkap) tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. System sorogan dan bandongan juga mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah secara umum atau stadium General. Ada 5 elemen yang terdapat pada pondok pesantren, antara lain ialah masjid, pondok, kitab-kitab, para santri dan kyainya.










D. KESIMPULAN

Pendidikan di Jawa sudah ada sebelum Hindhu Budha masuk,walaupun pada saat itu pendidikan hanya bersifat non formal. Setelah Hindhu Budha masuk pendidikan di tanah jawa sedikit mengalami kemajuan. Akan tetapi yang menjadi permasalan dalam pendidikan pada saat Hindhu Budha adalah pembagian Kasta dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang berada pada kasta terendah tidak mendapatkan pendidikan. Setelah Islam masuk dengan perlahan tapi pasti sistim kasta ini terhapuskan, dan digantikan dengan sistim persamaan derajad atau Islam menghapuskan tingkatan-tingkatan derajat yang ada dalam masyarakat. Semua orang diperbolehkan mengikuti pendidikan tanpa memandang derajat orang tersebut. Sehingga pada saat itu timbulah tempat-tempat pendidikan atau nggon ngaji dalam bahasa jawa diberbagai wilayah di pulau jawa.
Selain itu pola atau penyebaran pendidikan dijawa terjaddi tidak serentak serta otodidak saja tetapi mengalami perkembangan dari masa ke masa yaitu :
1. Pendidikan Masa Hindhu Budha di jawa
2. Pola Pendidikan Pengaruh Islam
3. Sistem Pendidikan Kolonial
Dan dari ketiga pola yang berkembang tentu memberi perbedaan pola pendidikan yang terjadi khususnya yang berkaitan dengan budaya


E. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami sangat sadar makalah kami kurang dari kata sempurna. Kritik dan saran sangat kami nantikan, agar semakin baik dalam penyusunan makalah kami selanjutnya.





Daftar Pustaka

Amin M. Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000 Dirjosantjoto Pradjarta, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS, Jogjakarta: 1999
Geertz Clifford, Santri, Priyayi dan Abangan, Jakarta, Pustaka
Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: 1999
Kartodirejo Sartono, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud: 1997
Mahmud, Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: 1983
Masyhud M. Sulthon. Dkk, Menejemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta: 2004
Sartono Kartono, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar